Pertanyaan:
assalamualaikum,q mau nanya tentang hukum nebas padi?karna brbagai kendala trpaksa padi siap panen ditebaskan.
Jawaban:
Hukum nebas padi/ijon adalah menjual hasil dari tanaman sebelum
waktu panen tiba. Jadi ketika padi masih hijau/belum layak panen, di
jual kepada orang lain. Atau mungkin mangga yg masih pencit/belum masak,
atau masih berupa kembang dijual buahnya ke pembeli. Biasanya uangnya
sudah dikasihkan terlebih dahulu, padahal keadaan tumbuhan masih belum
layak panen. Kemudian pembelinya akan memanen ketika panen sudah
tiba.Hukum tsbt, haram. Hal tsbt dikarenakan;1. Adanya unsur
spekulasi/ketidakjelasan mengenai keadaan barang dimasa depan. Karena,
ya kalau dimasa depan bisa panen, kalau dimakan wereng, terus gagal
panen. Maka kerugian besar. Inilah yg disebut maysir/spekulasi tinggi,
haram hukumx.2. Ke haraman ke 2, terjadi efek ke dzoliman yg terkena
pada salah 1 pihak, baik penjual maupun pembeli. Biasanya, ketika panen
melimpah ruah, sedangkan harga jual ijon/tebasan tsbt murah. Maka
penjual merasa menyesal, "kenapa dulu sy jual murah, eman2 rek, ternyata
hasilx bisa 10x lipat". Nah, hal tsbt dzolim pada sisi penjual. Adapun
dzolim kepada pembeli. Biasanya, hal ini terjadi akibat gagal panen
dikemudian hari/jumlah panen yg di harapkan sangat kecil dibandingkan
sewaktu beli, "Ya Allah, kenapa gak jadi panen kayak begini, nyesel aku
beli kemarin". Model2 ketidak jelasan dan mengakibatkan efek2 dzolim
inilah yg menjadikan haramx ijon/tebas.
Adapun dalil pengharamannya:
أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم نَهَى عَنْ بَيْعِ الثَّمَرِ حَتَّى يَبْدُوَ صَلاَحُهُ
Sesungguhnya Nabi saw. telah melarang untuk menjual buah hingga
mulai tampak kelayakannya (HR Muslim, an-Nasa’i, Ibn Majah dan Ahmad).
Imam Muslim meriwayatkan hadis ini dari Yahya bin Yahya, Yahya bin
Ayyub, Qutaibah dan Ibn Hujrin; semuanya dari Ismail bin Ja’far, dari
Abdullah bin Dinar, dari Ibn Umar. Dari jalur Ahmad bin Utsman
an-Nawfali dari Abu ‘Ashim; dari Muhammad bin Hatim, dari Rawh, dan
keduanya (Rawh dan Abu ‘Ashim) dari Zakariya’ bin Ishaq, dari Amru bin
Dinar, dari Jabir bin Abdullah.
Imam Ahmad meriwayatkannya dari Abdullah bin al-Harits, dari
Siblun, dari Amru bin Dinar, dari Jabir bin Abdullah, Ibn Umar dan Ibn
Abbas. An-Nasai meriwayatkannya dari Qutaibah bin Said, dari Sufyan dari
az-Zuhri, dari Salim, dari Ibn Umar.
Ibn Majah meriwayatkannya dari Hisyam bin ‘Amar, dari Sufyan, dari Ibn Juraij, dari ‘Atha’, dari Jabir bin Abdullah.
Makna
Manthûq (makna tekstual) hadis ini menunjukkan larangan menjual
buah (ats-tsamar [hasil tanaman]) yang masih berada di pohonnya jika
belum mulai tampak kelayakannya. Sebaliknya, mafhûm al-mukhâlafah
(pemahaman kebalikannya) hadis ini menunjukkan bolehnya menjual buah
yang masih di pohonnya jika sudah mulai tampak kelayakannya.
Maksud yabduwa shalâhuhu (mulai tampak kelayakannya) dijelaskan
oleh riwayat lainnya. Dalam riwayat dari Jabir bin Abdullah ra.
dikatakan “hatta yathîba (hingga masak)” (HR al-Bukhari dan Muslim),
atau “hatta yuth’ama (hingga bisa dimakan) (HR Muslim dan an-Nasa’i).
Dalam riwayat yang lain, Jabir ra., menuturkan:
نَهَى النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم أَنْ تُبَاعَ الثَّمَرَةُ حَتَّى
تُشْقِحَ فَقِيلَ وَمَا تُشْقِحُ قَالَ تَحْمَارُّ وَتَصْفَارُّ
وَيُؤْكَلُ مِنْهَا
Nabi saw. melarang buah dijual hingga tusyqih, Ditanyakan, “Apa
tusyqih itu?” Beliau menjawab, “Memerah dan menghijau serta (bisa)
dimakan darinya.” (HR Bukhari dan Muslim).
Ibn ‘Abbas menuturkan:
«نَهَى النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم عَنْ بَيْعِ النَّخْلِ حَتَّى يُؤْكَلَ مِنْهُ أَوْ يَأْكُلَ مِنْهُ وَحَتَّى يُوزَنَ
Nabi saw. telah melarang menjual kurma hingga bisa dimakan darinya
atau orang bisa makan darinya dan hingga bisa ditimbang (HR al-Bukhari).
Jadi, batasan buah yang masih ada di pohonnya bisa dijual adalah
jika sudah layak dimakan. Tanda-tanda buah itu sudah bisa dimakan
berbeda-beda sesuai dengan jenis buahnya. Hal itu telah diisyaratkan di
dalam riwayat Anas bin Malik ra.:
«أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم نَهَى عَنْ بَيْعِ الْعِنَبِ حَتَّى يَسْوَدَّ وَعَنْ بَيْعِ الْحَبِّ حَتَّى يَشْتَدَّ
Rasulullah saw. melarang menjual anggur hitam hingga warnanya
menghitam dan menjual biji-bijian hingga sudah keras (HR Abu Dawud).
Dalam hal buah-buahan, secara umum terdapat dua jenis. Pertama:
buah-buahan yang ketika sudah tua/cukup umur bisa dipetik dan
selanjutnya bisa masak, seperti mangga, pisang, pepaya, dsb. Jika sudah
ada semburat warna merah atau kuning yang menandakan sudah cukup tua,
buah itu bisa dipetik dan nantinya akan masak. Jika belum tampak
tanda-tanda seperti itu buah dipetik maka tidak bisa masak. Buah-buahan
jenis ini, jika sudah tampak tanda-tanda perubahan warna itu, yakni
sudah cukup tua untuk dipetik, maka sudah boleh dijual meski masih di
pohonnya.
Kedua, buah-buahan yang harus dipetik ketika sudah masak seperti
semangka, jambu, salak, jeruk, anggur, rambutan dan sejenisnya. Jika
sudah seperti itu maka buah yang masih dipohonnya boleh dijual. Batas
tersebut bisa diketahui dengan mudah oleh orang yang berpengalaman
tentangnya.
Ada juga tanaman yang kebanyakan dari jenis sayuran seperti
ketimun, buncis, kacang panjang, dsb, yang jika bunganya sudah berubah
menjadi buah, maka saat itu sudah mulai layak untuk dikonsumsi. Buah
tanaman sejenis ini, jika bunga sudah berubah menjadi buah, sudah boleh
dijual. Adapun jenis biji-bijian, seperti padi, kedelai, jagung dan
sebagainya, maka sesusai hadis Anas di atas, sudah boleh dijual ketika
sudah keras.
Tampaknya kelayakan buah untuk dikonsumsi itu tidak harus terpenuhi
pada seluruh buah di kebun. Hal itu adalah sangat sulit. Sebabnya, buah
di satu kebun bahkan satu pohon memang tidak memiliki tingkat ketuaan
yang sama dan tidak bisa masak secara bersamaan. Ketuaan dan menjadi
masak itu terjadi secara bertahap hingga seluruh buah di kebun menjadi
tua/masak. Karena itu, maksud yabduwa shalâhuhu itu adalah jika ada
sebagian buah sudah layak dikonsumsi, maka buah yang sama di satu kebun
itu boleh dijual semuanya, baik yang sudah mulai masak maupun yang
belum. Batas mulai layak dikonsumsi itu bergantung pada masing-masing
jenis buah. Misalnya jika sudah ada sebagian mangga yang masak maka
semua mangga yang ada di satu kebun itu boleh dijual. Jika ada sebagian
semangka yang sudah layak dikonsumsi maka seluruh semangka jenis yang
sama di kebun itu boleh dijual, termasuk yang masih muda. Jika sudah ada
sebagian bunga ketimun yang berubah menjadi buah maka semua ketimun di
seluruh kebun itu boleh dijual. Jika ada sebagian tongkol jagung manis
sudah layak dipetik maka seluruh jagung manis di kebun itu boleh dijual.
Begitulah.
Jika buah yang masih di pohon itu dijual, lalu terjadi bencana
cuaca seperti hujan, angin, hawa dingin, angin kering/panas, dsb, maka
penjual wajib menarik diri dari harga buah yang mengalami cacat atau
rusak dan mengembalikannya kepada pembeli. Jabir ra. menuturkan bahwa
Nabi saw. pernah bersabda:
إِنْ بِعْتَ مِنْ أَخِيكَ ثَمَرًا فَأَصَابَتْهُ جَائِحَةٌ فَلاَ
يَحِلُّ لَكَ أَنْ تَأْخُذَ مِنْهُ شَيْئًا بِمَ تَأْخُذُ مَالَ أَخِيكَ
بِغَيْرِ حَقٍّ
Jika engkau menjual buah kepada saudaramu, lalu terkena bencana,
maka tidak halal bagimu mengambil sesuatu pun darinya karena (ketika
itu) engkau mengambil harta saudaramu tidak secara haq (HR Muslim, Abu
Dawud dan an-Nasa’i).
Namun, jika bencana itu bukan bencana cuaca seperti pencurian,
kekeringan karena kerusakan pompa, gempa, banjir, kebakaran, dsb, maka
penjual tidak harus melepaskan harganya. Bencana seperti itu tidak
termasuk dalam cakupan makna hadis tersebut.
Adapun pendapat lain mengenai opsi hukum perihal masalah di atas:
Beberapa opsi hukum mengenai transaksi barang yg belum diketahui
statusnya, ada di dalam tanah, kacang dalam kulitnya, ataupun belum
layak panen, dsb.
1. Dalam qaul qadim Imam Syafi'i hukum transaksinya sah. Supremasi
hukum ini direkomendasikan oleh 3 Imam Madzhab, dan sebagian Imam
madzhab Syafi'i, yakni Imam al-Baghawiy dan al-Rawyaniy.
2. Dalam qaul jadid Imam Syafi'i dihukumi tidak sah karena mengandung unsur tipuan.
ﺳﻠﻢ ﺍﻟﺘﻮﻓﻴﻖ ﺹ ٥٣
ﻭ ( ﻳﺤﺮﻡ ﺃﻳﻀﺎ ﺑﻴﻊ ) ﻣﺎﻟﻢ ﻳﺮﻩ ﻗﺒﻞ ﺍﻟﻌﻘﺪ ﺣﺬﺭﺍ ﻣﻦ ﺍﻟﻐﺮﻭﺭ ﺃﻱ ﺃﻟﺨﻄﺮ ﻟﻤﺎ
ﺭﻭﻯ ﻣﺴﻠﻢ ﺃﻧﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻧﻬﻰ ﻋﻦ ﺑﻴﻊ ﺍﻟﻐﺮﺭ ﺃﻱ ﺍﻟﺒﻴﻊ ﺍﻟﻤﺸﺘﻤﻞ ﻋﻠﻰ
ﺍﻟﻐﺮﺭ ﻓﻰ ﺍﻟﻤﺒﻴﻊ ﻗﺎﻝ ﺍﻟﺤﺼﻨﻲ ﻭﻓﻰ ﺻﺤﺔ ﺑﻴﻊ ﺫﺍﻟﻚ ﻗﻮﻻﻥ ﺍﺣﺪﻫﻤﺎ ﺃﻧﻪ ﻳﺼﺢ ﻭﺑﻪ ﻗﺎﻝ
ﺍﻷﻣﺔ ﺍﻟﺜﻼﺛﺔ ﻭﻃﺎﺋﻔﺔ ﻣﻦ ﺃﺋﻤﺘﻨﺎ ﻣﻨﻬﻢ ﺍﻟﺒﻐﻮﻱ ﻭﺍﻟﺮﻭﻳﺎﻧﻲ ﻭﺍﻟﺠﺪﻳﺪ ﺍﻻﻇﻬﺮ ﺃﻧﻪ
ﻻﻳﺼﺢ ﻻﻧﻪ ﻏﺮﺭ ﺍﻧﺘﻬﻰ.
Dan haram juga menjual sesuatu yg tidak terlihat sebelum akad
karena khawatir adanya tipu daya yg membahayakan, sesuai dg hadits
riwayat Imam Muslim: "Bahwa Nabi saw. melarang jual-beli gharar",
maksudnya jual-beli yg mengandung unsur tipu daya di dalam barang
jualan. Al-Hishniy berkata: Dan di dalam keabsahan jual-beli tersebut
ada dua pendapat; Pertama, sah. Pendapat ini dikatakan oleh 3 Imam
Madzhab dan sebagian dari imam kita, yakni al-Baghawi dan al-Rawyani.
Kedua, dalam qaul jadid tidak sah, karena mengandung unsur penipuan.
3. Dengan cara hibah.
ﺍﻟﺴﺮﺍﺝ ﺍﻟﻮﻫﺎﺝ - ﺻﻔﺤﺔ 1/308 :
ﻭﻛﺬﻟﻚ ﺍﻟﺜﻤﺎﺭ ﻗﺒﻞ ﺑﺪﻭ ﺍﻟﺼﻼﺡ ﺗﺠﻮﺯ ﻫﺒﺘﻬﺎ ﻣﻦ ﻏﻴﺮ ﺷﺮﻁ ﺍﻟﻘﻄﻊ ﺑﺨﻼﻑ ﺍﻟﺒﻴﻊ.
Dan demikian juga boleh menghibahkan buah2an yg belum pantas panen
tanpa ada perjanjian memetik, berbeda halnya dalam hal jual-beli.
4. Bentuk transaksi dan praktek peribadatan orang awam asalkan
sesuai dg rekomendasi dan solusi hukum Imam Madzhab itu sah, karena
orang awam tidak punya madzhab secara menentu, dan bahkan sampai orang
yg mengerti dg madzhabnya.
ﺑﻐﻴﺔ ﺍﻟﻤﺴﺘﺮﺷﺪﻳﻦ ﺹ: 125-124 ﺩﺍﺭ ﺍﻟﻔﻜﺮ
ﻣﺴﺄﻟﺔ ﺏ: ﻻ ﻳﺼﺢ ﺑﻴﻊ ﻏﺎﺋﺐ ﻟﻢ ﻳﺮﻩ ﺍﻟﻤﺘﻌﺎﻗﺪﺍﻥ ﺃﻭ ﺃﺣﺪﻫﻤﺎ ﻛﺒﻴﻊ ﺣﺼﺘﻪ ﻓﻰ
ﻣﺸﺘﺮﻙ ﻟﻢ ﻳﻌﻠﻢ ﻛﻢ ﻫﻰ ﻓﻄﺮﻳﻘﻪ ﺃﻥ ﻳﺒﻴﻌﻪ ﺍﻟﻜﻞ ﺃﻯ ﺇﻥ ﻛﺎﻥ ﺑﻜﻞ ﺍﻟﺜﻤﻦ ﻓﻴﺼﺢ ﻓﻰ
ﺣﺼﺘﻪ ﺑﺤﺼﺘﻬﺎ ﻣﻦ ﺍﻟﺜﻤﻦ ﻭﻃﺮﻳﻖ ﺗﻤﻠﻴﻚ ﺍﻟﻤﺠﻬﻮﻝ ﺍﻟﻤﻨﺎﺫﺭﺓ ﻭﻧﺤﻮﻫﺎ ﻭﻓﻰ ﻗﻮﻝ ﻳﺼﺢ ﺑﻴﻊ
ﺍﻟﻤﺠﻬﻮﻝ ﻭﺑﻪ ﻗﺎﻝ ﺍﻷﺋﻤﺔ ﺍﻟﺜﻼﺛﺔ ﻭﺣﻴﺚ ﻗﻠﻨﺎ ﺑﺎﻟﺒﻄﻼﻥ ﻓﺎﻟﻤﻘﺒﻮﺽ ﺑﻪ ﻛﺎﻟﻤﻐﺼﻮﺏ ﻭﻻ
ﻳﺨﻔﻰ ﻣﺎ ﻳﺘﺮﺗﺐ ﻋﻠﻴﻪ ﻣﻦ ﺍﻟﺘﻔﺮﻳﻊ ﻭﺍﻟﺤﺮﺝ ﻓﺎﻷﻭﻟﻰ ﺑﺎﻟﻌﺎﻟﻢ ﺇﺫﺍ ﺃﺗﺎﻩ ﺍﻟﻌﻮﺍﻡ ﻓﻰ
ﻣﺜﻞ ﺫﻟﻚ ﺃﻥ ﻳﺸﺪ ﺍﻟﻨﻜﻴﺮ ﻓﻴﻤﺎ ﺃﻗﺒﻞ ﻭﻳﺮﺷﺪﻫﻢ ﺇﻟﻰ ﺍﻟﺘﻘﻠﻴﺪ ﻓﻰ ﺍﻟﻤﺎﺿﻰ ﺇﺫ ﺍﻟﻌﺎﻣﻰ ﻻ
ﻣﺬﻫﺐ ﻟﻪ ﺑﻞ ﺇﺫﺍ ﻭﺍﻓﻖ ﻗﻮﻻ ﺻﺤﻴﺤﺎ ﺻﺤﺖ ﻋﺒﺎﺩﺗﻪ ﻭﻣﻌﺎﻣﻠﺘﻪ ﻭﺇﻥ ﻟﻢ ﻳﻌﻠﻢ ﻋﻴﻦ ﻗﺎﺋﻠﻪ
ﻛﻤﺎ ﻣﺮ ﺍﻟﻤﻘﺪﻣﺔ ﺑﻞ ﻫﻮ ﺍﻟﻤﺘﻌﻴﻦ ﻓﻰ ﻫﺬﺍ ﺍﻟﺰﻣﺎﻥ ﻛﻤﺎ ﻻ ﻳﺨﻔﻰ ﺍﻫـ