095.Hukun NEBAS PADI

Pertanyaan:

assalamualaikum,q mau nanya tentang hukum nebas padi?karna brbagai kendala trpaksa padi siap panen ditebaskan.
Jawaban:
Hukum nebas padi/ijon adalah menjual hasil dari tanaman sebelum waktu panen tiba. Jadi ketika padi masih hijau/belum layak panen, di jual kepada orang lain. Atau mungkin mangga yg masih pencit/belum masak, atau masih berupa kembang dijual buahnya ke pembeli. Biasanya uangnya sudah dikasihkan terlebih dahulu, padahal keadaan tumbuhan masih belum layak panen. Kemudian pembelinya akan memanen ketika panen sudah tiba.Hukum tsbt, haram. Hal tsbt dikarenakan;1. Adanya unsur spekulasi/ketidakjelasan mengenai keadaan barang dimasa depan. Karena, ya kalau dimasa depan bisa panen, kalau dimakan wereng, terus gagal panen. Maka kerugian besar. Inilah yg disebut maysir/spekulasi tinggi, haram hukumx.2. Ke haraman ke 2, terjadi efek ke dzoliman yg terkena pada salah 1 pihak, baik penjual maupun pembeli. Biasanya, ketika panen melimpah ruah, sedangkan harga jual ijon/tebasan tsbt murah. Maka penjual merasa menyesal, "kenapa dulu sy jual murah, eman2 rek, ternyata hasilx bisa 10x lipat". Nah, hal tsbt dzolim pada sisi penjual. Adapun dzolim kepada pembeli. Biasanya, hal ini terjadi akibat gagal panen dikemudian hari/jumlah panen yg di harapkan sangat kecil dibandingkan sewaktu beli, "Ya Allah, kenapa gak jadi panen kayak begini, nyesel aku beli kemarin". Model2 ketidak jelasan dan mengakibatkan efek2 dzolim inilah yg menjadikan haramx ijon/tebas.
Adapun dalil pengharamannya:
أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم نَهَى عَنْ بَيْعِ الثَّمَرِ حَتَّى يَبْدُوَ صَلاَحُهُ
Sesungguhnya Nabi saw. telah melarang untuk menjual buah hingga mulai tampak kelayakannya (HR Muslim, an-Nasa’i, Ibn Majah dan Ahmad).
Imam Muslim meriwayatkan hadis ini dari Yahya bin Yahya, Yahya bin Ayyub, Qutaibah dan Ibn Hujrin; semuanya dari Ismail bin Ja’far, dari Abdullah bin Dinar, dari Ibn Umar. Dari jalur Ahmad bin Utsman an-Nawfali dari Abu ‘Ashim; dari Muhammad bin Hatim, dari Rawh, dan keduanya (Rawh dan Abu ‘Ashim) dari Zakariya’ bin Ishaq, dari Amru bin Dinar, dari Jabir bin Abdullah.
Imam Ahmad meriwayatkannya dari Abdullah bin al-Harits, dari Siblun, dari Amru bin Dinar, dari Jabir bin Abdullah, Ibn Umar dan Ibn Abbas. An-Nasai meriwayatkannya dari Qutaibah bin Said, dari Sufyan dari az-Zuhri, dari Salim, dari Ibn Umar.
Ibn Majah meriwayatkannya dari Hisyam bin ‘Amar, dari Sufyan, dari Ibn Juraij, dari ‘Atha’, dari Jabir bin Abdullah.
Makna
Manthûq (makna tekstual) hadis ini menunjukkan larangan menjual buah (ats-tsamar [hasil tanaman]) yang masih berada di pohonnya jika belum mulai tampak kelayakannya. Sebaliknya, mafhûm al-mukhâlafah (pemahaman kebalikannya) hadis ini menunjukkan bolehnya menjual buah yang masih di pohonnya jika sudah mulai tampak kelayakannya.
Maksud yabduwa shalâhuhu (mulai tampak kelayakannya) dijelaskan oleh riwayat lainnya. Dalam riwayat dari Jabir bin Abdullah ra. dikatakan “hatta yathîba (hingga masak)” (HR al-Bukhari dan Muslim), atau “hatta yuth’ama (hingga bisa dimakan) (HR Muslim dan an-Nasa’i). Dalam riwayat yang lain, Jabir ra., menuturkan:
نَهَى النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم أَنْ تُبَاعَ الثَّمَرَةُ حَتَّى تُشْقِحَ فَقِيلَ وَمَا تُشْقِحُ قَالَ تَحْمَارُّ وَتَصْفَارُّ وَيُؤْكَلُ مِنْهَا
Nabi saw. melarang buah dijual hingga tusyqih, Ditanyakan, “Apa tusyqih itu?” Beliau menjawab, “Memerah dan menghijau serta (bisa) dimakan darinya.” (HR Bukhari dan Muslim).
Ibn ‘Abbas menuturkan:
«نَهَى النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم عَنْ بَيْعِ النَّخْلِ حَتَّى يُؤْكَلَ مِنْهُ أَوْ يَأْكُلَ مِنْهُ وَحَتَّى يُوزَنَ
Nabi saw. telah melarang menjual kurma hingga bisa dimakan darinya atau orang bisa makan darinya dan hingga bisa ditimbang (HR al-Bukhari).
Jadi, batasan buah yang masih ada di pohonnya bisa dijual adalah jika sudah layak dimakan. Tanda-tanda buah itu sudah bisa dimakan berbeda-beda sesuai dengan jenis buahnya. Hal itu telah diisyaratkan di dalam riwayat Anas bin Malik ra.:
«أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم نَهَى عَنْ بَيْعِ الْعِنَبِ حَتَّى يَسْوَدَّ وَعَنْ بَيْعِ الْحَبِّ حَتَّى يَشْتَدَّ
Rasulullah saw. melarang menjual anggur hitam hingga warnanya menghitam dan menjual biji-bijian hingga sudah keras (HR Abu Dawud).
Dalam hal buah-buahan, secara umum terdapat dua jenis. Pertama: buah-buahan yang ketika sudah tua/cukup umur bisa dipetik dan selanjutnya bisa masak, seperti mangga, pisang, pepaya, dsb. Jika sudah ada semburat warna merah atau kuning yang menandakan sudah cukup tua, buah itu bisa dipetik dan nantinya akan masak. Jika belum tampak tanda-tanda seperti itu buah dipetik maka tidak bisa masak. Buah-buahan jenis ini, jika sudah tampak tanda-tanda perubahan warna itu, yakni sudah cukup tua untuk dipetik, maka sudah boleh dijual meski masih di pohonnya.
Kedua, buah-buahan yang harus dipetik ketika sudah masak seperti semangka, jambu, salak, jeruk, anggur, rambutan dan sejenisnya. Jika sudah seperti itu maka buah yang masih dipohonnya boleh dijual. Batas tersebut bisa diketahui dengan mudah oleh orang yang berpengalaman tentangnya.
Ada juga tanaman yang kebanyakan dari jenis sayuran seperti ketimun, buncis, kacang panjang, dsb, yang jika bunganya sudah berubah menjadi buah, maka saat itu sudah mulai layak untuk dikonsumsi. Buah tanaman sejenis ini, jika bunga sudah berubah menjadi buah, sudah boleh dijual. Adapun jenis biji-bijian, seperti padi, kedelai, jagung dan sebagainya, maka sesusai hadis Anas di atas, sudah boleh dijual ketika sudah keras.
Tampaknya kelayakan buah untuk dikonsumsi itu tidak harus terpenuhi pada seluruh buah di kebun. Hal itu adalah sangat sulit. Sebabnya, buah di satu kebun bahkan satu pohon memang tidak memiliki tingkat ketuaan yang sama dan tidak bisa masak secara bersamaan. Ketuaan dan menjadi masak itu terjadi secara bertahap hingga seluruh buah di kebun menjadi tua/masak. Karena itu, maksud yabduwa shalâhuhu itu adalah jika ada sebagian buah sudah layak dikonsumsi, maka buah yang sama di satu kebun itu boleh dijual semuanya, baik yang sudah mulai masak maupun yang belum. Batas mulai layak dikonsumsi itu bergantung pada masing-masing jenis buah. Misalnya jika sudah ada sebagian mangga yang masak maka semua mangga yang ada di satu kebun itu boleh dijual. Jika ada sebagian semangka yang sudah layak dikonsumsi maka seluruh semangka jenis yang sama di kebun itu boleh dijual, termasuk yang masih muda. Jika sudah ada sebagian bunga ketimun yang berubah menjadi buah maka semua ketimun di seluruh kebun itu boleh dijual. Jika ada sebagian tongkol jagung manis sudah layak dipetik maka seluruh jagung manis di kebun itu boleh dijual. Begitulah.
Jika buah yang masih di pohon itu dijual, lalu terjadi bencana cuaca seperti hujan, angin, hawa dingin, angin kering/panas, dsb, maka penjual wajib menarik diri dari harga buah yang mengalami cacat atau rusak dan mengembalikannya kepada pembeli. Jabir ra. menuturkan bahwa Nabi saw. pernah bersabda:
إِنْ بِعْتَ مِنْ أَخِيكَ ثَمَرًا فَأَصَابَتْهُ جَائِحَةٌ فَلاَ يَحِلُّ لَكَ أَنْ تَأْخُذَ مِنْهُ شَيْئًا بِمَ تَأْخُذُ مَالَ أَخِيكَ بِغَيْرِ حَقٍّ
Jika engkau menjual buah kepada saudaramu, lalu terkena bencana, maka tidak halal bagimu mengambil sesuatu pun darinya karena (ketika itu) engkau mengambil harta saudaramu tidak secara haq (HR Muslim, Abu Dawud dan an-Nasa’i).
Namun, jika bencana itu bukan bencana cuaca seperti pencurian, kekeringan karena kerusakan pompa, gempa, banjir, kebakaran, dsb, maka penjual tidak harus melepaskan harganya. Bencana seperti itu tidak termasuk dalam cakupan makna hadis tersebut.
Adapun pendapat lain mengenai opsi hukum perihal masalah di atas:
Beberapa opsi hukum mengenai transaksi barang yg belum diketahui statusnya, ada di dalam tanah, kacang dalam kulitnya, ataupun belum layak panen, dsb.
1. Dalam qaul qadim Imam Syafi'i hukum transaksinya sah. Supremasi hukum ini direkomendasikan oleh 3 Imam Madzhab, dan sebagian Imam madzhab Syafi'i, yakni Imam al-Baghawiy dan al-Rawyaniy.
2. Dalam qaul jadid Imam Syafi'i dihukumi tidak sah karena mengandung unsur tipuan.
ﺳﻠﻢ ﺍﻟﺘﻮﻓﻴﻖ ﺹ ٥٣
ﻭ ( ﻳﺤﺮﻡ ﺃﻳﻀﺎ ﺑﻴﻊ ) ﻣﺎﻟﻢ ﻳﺮﻩ ﻗﺒﻞ ﺍﻟﻌﻘﺪ ﺣﺬﺭﺍ ﻣﻦ ﺍﻟﻐﺮﻭﺭ ﺃﻱ ﺃﻟﺨﻄﺮ ﻟﻤﺎ ﺭﻭﻯ ﻣﺴﻠﻢ ﺃﻧﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻧﻬﻰ ﻋﻦ ﺑﻴﻊ ﺍﻟﻐﺮﺭ ﺃﻱ ﺍﻟﺒﻴﻊ ﺍﻟﻤﺸﺘﻤﻞ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻐﺮﺭ ﻓﻰ ﺍﻟﻤﺒﻴﻊ ﻗﺎﻝ ﺍﻟﺤﺼﻨﻲ ﻭﻓﻰ ﺻﺤﺔ ﺑﻴﻊ ﺫﺍﻟﻚ ﻗﻮﻻﻥ ﺍﺣﺪﻫﻤﺎ ﺃﻧﻪ ﻳﺼﺢ ﻭﺑﻪ ﻗﺎﻝ ﺍﻷﻣﺔ ﺍﻟﺜﻼﺛﺔ ﻭﻃﺎﺋﻔﺔ ﻣﻦ ﺃﺋﻤﺘﻨﺎ ﻣﻨﻬﻢ ﺍﻟﺒﻐﻮﻱ ﻭﺍﻟﺮﻭﻳﺎﻧﻲ ﻭﺍﻟﺠﺪﻳﺪ ﺍﻻﻇﻬﺮ ﺃﻧﻪ ﻻﻳﺼﺢ ﻻﻧﻪ ﻏﺮﺭ ﺍﻧﺘﻬﻰ.
Dan haram juga menjual sesuatu yg tidak terlihat sebelum akad karena khawatir adanya tipu daya yg membahayakan, sesuai dg hadits riwayat Imam Muslim: "Bahwa Nabi saw. melarang jual-beli gharar", maksudnya jual-beli yg mengandung unsur tipu daya di dalam barang jualan. Al-Hishniy berkata: Dan di dalam keabsahan jual-beli tersebut ada dua pendapat; Pertama, sah. Pendapat ini dikatakan oleh 3 Imam Madzhab dan sebagian dari imam kita, yakni al-Baghawi dan al-Rawyani. Kedua, dalam qaul jadid tidak sah, karena mengandung unsur penipuan.
3. Dengan cara hibah.
ﺍﻟﺴﺮﺍﺝ ﺍﻟﻮﻫﺎﺝ - ﺻﻔﺤﺔ 1/308 :
ﻭﻛﺬﻟﻚ ﺍﻟﺜﻤﺎﺭ ﻗﺒﻞ ﺑﺪﻭ ﺍﻟﺼﻼﺡ ﺗﺠﻮﺯ ﻫﺒﺘﻬﺎ ﻣﻦ ﻏﻴﺮ ﺷﺮﻁ ﺍﻟﻘﻄﻊ ﺑﺨﻼﻑ ﺍﻟﺒﻴﻊ.
Dan demikian juga boleh menghibahkan buah2an yg belum pantas panen tanpa ada perjanjian memetik, berbeda halnya dalam hal jual-beli.
4. Bentuk transaksi dan praktek peribadatan orang awam asalkan sesuai dg rekomendasi dan solusi hukum Imam Madzhab itu sah, karena orang awam tidak punya madzhab secara menentu, dan bahkan sampai orang yg mengerti dg madzhabnya.
ﺑﻐﻴﺔ ﺍﻟﻤﺴﺘﺮﺷﺪﻳﻦ ﺹ: 125-124 ﺩﺍﺭ ﺍﻟﻔﻜﺮ 
ﻣﺴﺄﻟﺔ ﺏ: ﻻ ﻳﺼﺢ ﺑﻴﻊ ﻏﺎﺋﺐ ﻟﻢ ﻳﺮﻩ ﺍﻟﻤﺘﻌﺎﻗﺪﺍﻥ ﺃﻭ ﺃﺣﺪﻫﻤﺎ ﻛﺒﻴﻊ ﺣﺼﺘﻪ ﻓﻰ ﻣﺸﺘﺮﻙ ﻟﻢ ﻳﻌﻠﻢ ﻛﻢ ﻫﻰ ﻓﻄﺮﻳﻘﻪ ﺃﻥ ﻳﺒﻴﻌﻪ ﺍﻟﻜﻞ ﺃﻯ ﺇﻥ ﻛﺎﻥ ﺑﻜﻞ ﺍﻟﺜﻤﻦ ﻓﻴﺼﺢ ﻓﻰ ﺣﺼﺘﻪ ﺑﺤﺼﺘﻬﺎ ﻣﻦ ﺍﻟﺜﻤﻦ ﻭﻃﺮﻳﻖ ﺗﻤﻠﻴﻚ ﺍﻟﻤﺠﻬﻮﻝ ﺍﻟﻤﻨﺎﺫﺭﺓ ﻭﻧﺤﻮﻫﺎ ﻭﻓﻰ ﻗﻮﻝ ﻳﺼﺢ ﺑﻴﻊ ﺍﻟﻤﺠﻬﻮﻝ ﻭﺑﻪ ﻗﺎﻝ ﺍﻷﺋﻤﺔ ﺍﻟﺜﻼﺛﺔ ﻭﺣﻴﺚ ﻗﻠﻨﺎ ﺑﺎﻟﺒﻄﻼﻥ ﻓﺎﻟﻤﻘﺒﻮﺽ ﺑﻪ ﻛﺎﻟﻤﻐﺼﻮﺏ ﻭﻻ ﻳﺨﻔﻰ ﻣﺎ ﻳﺘﺮﺗﺐ ﻋﻠﻴﻪ ﻣﻦ ﺍﻟﺘﻔﺮﻳﻊ ﻭﺍﻟﺤﺮﺝ ﻓﺎﻷﻭﻟﻰ ﺑﺎﻟﻌﺎﻟﻢ ﺇﺫﺍ ﺃﺗﺎﻩ ﺍﻟﻌﻮﺍﻡ ﻓﻰ ﻣﺜﻞ ﺫﻟﻚ ﺃﻥ ﻳﺸﺪ ﺍﻟﻨﻜﻴﺮ ﻓﻴﻤﺎ ﺃﻗﺒﻞ ﻭﻳﺮﺷﺪﻫﻢ ﺇﻟﻰ ﺍﻟﺘﻘﻠﻴﺪ ﻓﻰ ﺍﻟﻤﺎﺿﻰ ﺇﺫ ﺍﻟﻌﺎﻣﻰ ﻻ ﻣﺬﻫﺐ ﻟﻪ ﺑﻞ ﺇﺫﺍ ﻭﺍﻓﻖ ﻗﻮﻻ ﺻﺤﻴﺤﺎ ﺻﺤﺖ ﻋﺒﺎﺩﺗﻪ ﻭﻣﻌﺎﻣﻠﺘﻪ ﻭﺇﻥ ﻟﻢ ﻳﻌﻠﻢ ﻋﻴﻦ ﻗﺎﺋﻠﻪ ﻛﻤﺎ ﻣﺮ ﺍﻟﻤﻘﺪﻣﺔ ﺑﻞ ﻫﻮ ﺍﻟﻤﺘﻌﻴﻦ ﻓﻰ ﻫﺬﺍ ﺍﻟﺰﻣﺎﻥ ﻛﻤﺎ ﻻ ﻳﺨﻔﻰ ﺍﻫـ