Assalamu'alaikum..
Nanya lagi..
Apakah yang di maksd dengan "Hidayatul khowasyiah" ?
JAWABAN
WAALAIKUMUSSALAM
ada 10 tingkatan hidayah khusus/khowashiyah (shod).Tingkatan Pertama:
Tingkatan
pembicaraan Allah dengan hamba-Nya secara sadar dan langsung tanpa
perantara. Ini merupakan tingkatan hidayah yang paling tinggi,
sebagaimana Allah yang berbicara dengan Musa bin Imran. Allah
befirman,“Dan, Allah telah berbicara kepada Musa secara langsung.”
(An-Nisa’: 164).
Sebelum ayat ini disebutkan wahyu
Allah yang diberikan kepada Nuh dan para nabi sesudahnya, kemudian
mengkhususkan Musa, bahwa Allah berbicara dengan beliau. Ini menunjukkan
bahwa pembicaraan ini lebih khusus dari sekedar memberikan wahyu
seperti yang disebutkan dalam ayat sebelumnya. Lalu hal ini ditegaskan
lagi dengan adanya mashdar dari kallama. Hujjah ini untuk menyanggah
pendapat jahmiyah, Mu’tazilah dan golongan-golongan lain yang mengatakan
bahwa itu artinya wahyu atau isyarat atau pengenalan terhadap suatu
makna, yang artinya bukan bicara secara langsung. Al-Fara’ berkata,
“Orang-orang Arab menyebut kontak dengan orang lain adalah bicara,
dengan cara apa pun dan bagaimana pun. Tetapi makna ini tidak disertai
dengan mashdar dari fi’il yang sama. Jika dikuatkan dengan mashdar,
berarti hakikatnya memang bicara. Maka apabila dikatakan, “Fulan araada
iraadatan”, artinya Fulan benar-benar menghendaki.
Ada
firman Allah yang lain tentang hal ini, “Dan, tatkala Musa datang untuk
(munajat dengan Kami) pada waktu yang telah Kami tentukan dan Rabbnya
telah berbicara (langsung) kepadanya, Musa berkata, ‘Ya Rabbi,
tampakkanlah (Diri Engkau) kepadaku agar aku dapat melihat kepada
Engkau’.” (Al-A’raf: 143).
Pembicaraan ini berbeda
dengan yang pertama saat Dia mengutusnya kepada Fir’aun. Dalam
pembicaraan kali ini Musa meminta untuk dapat melihat Allah. Pembicaraan
kali ini berasal dari janji Allah kepadanya. Sementara pada pembicaraan
yang pertama tidak didahului dengan janji.
Tingkatan Kedua:
Tingkatan wahyu yang secara khusus diberikan kepada para nabi. Allah
befirman, “Sesungguhnya Kami telah memberikan wahyu kepadamu sebagaimana
Kami telah memberikan wahyu kepada Nuh dan nabi-nabi yang kemudiannya.”
(An-Nisa’: 163). “Dan, tidak ada bagi seorang manusia pun bahwa Allah
berkata dengan dia kecuali dengan perantaraan wahyu atau dari belakang
tabir.” (Asy Syura: 51). Allah menjadikan wahyu dalam ayat kedua ini
termasuk bagian dari bicara, sedangkan dalam ayat pertama menjadi lawan
bicara. La wan bicara secara khusus artinya tanpa ada perantara,
sedangkan bagian dari bicara yang bersifat umum, berarti penyampaian
makna dengan berbagai macam cara.
Tingkatan Ketiga:
Mengirim utusan dari jenis malaikat kepada utusan dari jenis manusia,
lalu utusan malaikat ini menyampaikan wahyu dari Allah seperti yang
diperintahkan-Nya. Tiga jenis tingkatan ini dikhususkan hanya bagi para
rasul dan nabi, tidak berlaku untuk selain mereka. Utusan malaikat itu
bisa berwujud manusia berjenis laki-laki, yang bisa dilihat dengan mata
telanjang dan juga berbicara empat mata, dan adakalanya dia menampakkan
diri dalam wujud aslinya. Adakalanya malaikat ini masuk ke dalam diri
rasul dan menyampaikan wahyu seperti yang diperintahkan, lalu dia
melepaskan diri darinya. Tiga cara ini pernah dialami nabi kita Muhammad
Shallallahu Alaihi wa Sallam.
Tingkatan Keempat:Dengan
cara bisikan. Tingkatan ini berbeda dengan wahyu yang sifatnya khusus
dan juga berbeda dengan tingkatan para shiddiqin, seperti yang dialami
Umar bin Al-Khaththab Radhiyallahu Anhu. Hal ini pernah ditegaskan Nabi
Shallallahu Alaihi wa Sallam, “Sesungguhnya di tengah umat-umat sebelum
kalian ada orang-orang yang mendapat bisikan. Sedangkan dalam umat ini
adalah Umar bin Al-Khaththab.” Orang yang mendapat bisikan ialah orang
yang mendapat bisikan (firasat) itu secara rahasia di dalam hatinya
tentang sesuatu, kemudian dia menyatakannya. Lalu bagaimana dengan
sekian banyak orang yang dikuasai imajinasi dan hayalan, yang
mengatakan, “Hatiku mendapat bisikan dari Allah?” Memang tidak bisa
disangkal bahwa hatinya mendapat bisikan itu. Tapi dari mana dan dari
siapa? Dari syetan ataukah dari Allah? Jika dia mengaku berasal dari
Allah, berarti dia menyandarkan bisikan itu dari seseorang yang
sebenarnya dia pun tidak mengetahuinya secara pasti, bahwa yang
membisikkan kepadanya itu benar-benar mem-bisikkan. Ini sama saja
bohong. Sementara Umar bin Al-Khaththab, salah seorang dari umat ini
yang telah dilejitimasi oleh Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam
sebagai orang yang mendapat bisikan dari Allah, tidak membuat pengakuan
seperti itu dan berkata seperti itu, kapan pun, karena Allah telah
melindungi dirinya agar tidak berkata seperti itu. Bahkan suatu hari
saat sekretarisnya menulis, “Inilah yang diperlihatkan Allah kepada
Amirul- Mukminin, Umar bin Al-Khaththab”, dia berkata, “Tidak, hapus
itu. Tapi tulislah: Inilah yang dilihat Umar bin Al-Khaththab. Jika
benar, maka ini datangnya dari Allah, dan jika salah, maka ini dari
Umar, sedangkan Allah dan Rasul-Nya terbebas darinya.” Dia juga pernah
berkata ketika memutuskan perkara tentang seorang anak yang tidak jelas
bapak ibunya, “Aku memutuskannya berdasarkan pendapatku. Jika benar,
maka itu datangnya dari Allah, dan jika salah, maka itu dariku dan dari
syetan.” Dengan begitu engkau bisa membedakan antara sosok Umar bin Al
Khaththab dengan sekian banyak orang yang dikuasai hayalan, pembual dan
permisivis yang mengatakan, “Hatiku mendapat bisikan (wangsit) dari
Allah.” Perhatikan dan bandingkan antara keduanya, kemudian berikan hak
kepada masing-masing secara proporsional, jangan samakan pembual dengan
orang yang tulus.
Tingkatan Kelima: Dengan
cara pemahaman. Allah befirman, “Dan (ingatlah kisah) Daud dan Sulaiman
di waktu keduanya memberikan keputusan mengenai tanaman, karena tanaman
itu dirusak oleh kambing-kambing kepunyaan kaumnya. Dan, adalah Kami
menyaksikan keputusan yang diberikan oleh mereka itu, maka Kami telah
memberikan pengertian kepada Sulaiman tentang hukum (yang lebih tepat)
dan ilmu.” (Al-Anbiya’: 78-79). Allah menyebutkan dua nabi yang mulia
ini, memuji keduanya dengan ilmu dan hukum, mengkhususkan Sulaiman
dengan pemahaman dalam peristiwa ini. Ali bin Abu Thalib pernah ditanya
seseorang, “Apakah Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam pernah
mengkhususkan kalian para shahabat dengan sesuatu tanpa yang lain?” Ali
menjawab, “Tidak pernah, kecuali hanya pemahaman tentang Kitab-Nya
seperti yang diberikan Allah kepada seorang hamba.” Pemahaman ini
datangnya dari Allah dan Rasul-Nya, yang merupakan inti kebenaran. Ada
perbedaan di antara orang-orang yang berilmu sehubungan dengan pemahaman
ini, sampai-sampai ada satu orang yang disamakan dengan seribu orang.
Perhatikan pemahaman yang dimiliki Ibnu Abbas, saat dia ditanya Umar
dalam pertemuan yang dihadiri para shahabat yang pernah ikut perang Badr
dan juga lain-lainnya tentang makna surat An-Nashr. Menurut Ibnu Abbas,
surat ini merupakan pengabaran tentang kedekatan ajal beliau. Ternyata
jalan pikiran Ibnu Abbas ini cocok dengan jalan pikiran Umar sendiri.
Hanya mereka ber-dua yang memahami seperti ini, sekalipun Ibnu Abbas
adalah orang yang paling muda di antara para shahabat yang ada pada
waktu itu. Dari sisi mana surat ini bisa dipahami sebagai pengabaran
tentang ajal beliau yang sudah dekat kalau bukan karena pemahaman yang
sifatnya khusus?
Tingkatan Keenam:
Penjelasan secara umum. Artinya, penjelasan tentang kebenaran dan
kemampuan untuk membedakannya dari yang batil, berdasarkan dalil, bukti
dan saksi-saksi penguat, sehingga lalu berubah seperti sebuah kenyataan
di dalam hati, seperti sebuah kenyataan yang tampak jelas di depan mata
kepala. Tingkatan ini merupakan hujjah Allah atas makhluk-Nya. Dia tidak
mengadzab dan tidak menyesatkan seseorang kecuali sete-lah orang
tersebut mendapatkan kejelasan ini. Firman-Nya, “Dan, Allah sekali-kali
tidak akan menyesatkan suatu kaum, sesudah Allah memberi petunjuk kepada
mereka hingga dijelaskan-Nya kepada mereka apa yang harus dijauhi.”
(At-Taubah: 115). Kesesatan ini merupakan hukuman bagi mereka yang
datangnya dari Allah, karena Dia telah menjelaskan kepada mereka, namun
mereka tidak mau menerima dan tidak mengamalkannya. Maka Allah menghukum
mereka dengan cara menyesatkannya dari petunjuk. Jadi, Allah sama
sekali tidak menyesatkan seseorang kecuali setelah ada penjelasan ini.
Jika engkau sudah memahami hal ini, tentu engkau bisa memahami rahasia
takdir, sehingga engkau tidak terasuki sekian banyak keragu-raguan dan
syubhat tentang masalah ini. Penjelasan ini ada dua macam: Penjelasan
dengan ayat-ayat yang bisa didengar, dan penjelasan dengan ayat-ayat
(tanda-tanda kekuasaan) yang bisa dilihat mata. Keduanya merupakan bukti
dan penjelasan tentang keesaan Allah dan kesempurnaan sifat-sifat-Nya.
Karena itu Allah menyeru hamba-hamba-Nya lewat ayat-ayat-Nya yang bisa
dibaca agar memikirkan tanda-tanda kekuasaan-Nya yang bisa dilihat mata.
Karena penjelasan inilah para rasul diutus dan pengemban sesudah para
nabi adalah para ulama. Setelah ada penjelasan itu, maka Allah
menyesatkan siapa pun yang dikehendaki-Nya. Allah menjelaskan, dan Allah
menyesatkan siapa yang dikehendaki-Nya serta memberikan petunjuk kepada
siapa pun yang dikehendaki-Nya berdasarkan hikmah-Nya.
Tingkatan Ketujuh:
Penjelasan bersifat khusus. Maksudnya penjelasan yang mendatang-kan
petunjuk khusus, atau penjelasan yang disusul dengan pertolongan, taufik
dan pengenyahan sebab-sebab kehinaan dari hati, sehingga dia tidak
kehilangan hidayah. Allah befirman, “Jika kamu sangat mengharapkan agar
mereka dapat petunjuk, maka sesungguhnya Allah tiada memberi petunjuk
kepada orang yang disesatkan-Nya.” (An-Nahl: 36). “Sesungguhnya kami
tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi
Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya.” (Al-Qashash:
56).
Tingkatan Kedelapan: Lewat
pendengaran. Allah befirman, “Kalau sekiranya Allah mengetahui kebaikan
ada pada mereka, tentulah Allah menjadikan mereka dapat mendengar.”
(Al-Anfal: 23) Memperdengarkan di sini lebih khusus daripada
memperdengarkan hujjah dan tabligh, sebab yang demikian itu berangkat
dari diri mereka sendiri dan karenanya Allah menegakkan hujjah atas
mereka. Yang demikian itu berarti memperdengarkan telinga, sedangkan
yang ini memperdengarkan hati. Perkataan mempunyai lafazh dan makna,
yang berkaitan dengan telinga dan hati. Mendengarkan lafazh merupakan
bagian telinga, sedangkan mendengarkan hakikat makna dan tujuannya
merupakan bagian hati. Allah meniadakan pendengaran maksud dan tujuan
yang merupakan bagian hati dari orang-orang kafir, dan hanya menetapkan
pendengaran lafazh-lafazh yang merupakan bagian telinga. Perbedaan
antara tingkatan ini dengan tingkatan pemahaman, bahwa tingkatan ini
diperoleh lewat sarana telinga, sedangkan tingkatan pemahaman sifatnya
lebih umum. Jadi tingkatan ini lebih khusus daripada tingkatan
pemahaman, jika dilihat dari sisi ini. Tapi tingkatan pemahaman juga
bisa lebih khusus jika dilihat dari sisi yang lain lagi, yaitu karena ia
berkaitan dengan makna yang dimaksudkan, kaitan dan isyarat-nya. Inti
tingkatan mendengar ialah penyampaian maksud ke hati, yang berarti harus
ada penerimaan pendengaran. Berarti dalam tingkatan ini ada tiga
tingkatan lain: Telinga yang mendengar, hati yang mendengar dan
penerimaan atau pemenuhan.
Tingkatan Kesembilan:
Ilham. Allah befirman, “Demi jiwa dan penyempurnaannya (ciptaannya).
Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan
ketakwaannya.” (Asy-Syams: 7-8). Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam
bersabda kepada Hushain bin Al Mundzir saat dia masuk Islam,
“Katakanlah, ‘Ya Allah, ilhamkanlah kepadaku petunjukku dan lindungilah
aku dari kejahatan diriku.” Pengarang Manazilus-Sa’irin (Abu Ismail)
menganggap ilham ini sama kedudukannya dengan bisikan di dalam hati.
Jadi ilham lebih tinggi daripada firasat. Sebab boleh jadi firasat itu
jarang-jarang terjadi atau bersifat insidental dan pelakunya tidak bisa
menentukan kapan waktunya atau bahkan ia bisa mengecohnya. Sementara
kedudukan ilham sudah jelas. Saya katakan, bisikan di dalam hati lebih
khusus daripada ilham. Ilham bersifat umum bagi orang-orang Mukmin,
tergantung pada iman mereka. Setiap orang Mukmin mendapat ilham petunjuk
dari Allah, yang menghasilkan keimanan kepada-Nya. Sedangkan bisikan
dalam hati hanya dikhususkan bagi orang-orang yang memang
mendapatkannya, seperti Umar bin Al-Khaththab. Jadi bisikan hati ini
merupakan ilham khusus, atau bisa dikatakan wahyu yang diberikan kepada
selain para nabi, baik mukallaf atau bukan mukallaf. Wahyu yang
diberikan kepada mukallaf seperti firman Allah, “Dan, Kami ilhamkan
kepada ibu Musa, ‘Susuilah dia’.” (Al-Qashash:7). Wahyu yang diberikan
kepada yang bukan mukallaf, “Dan, Rabbmu mewahyukan kepada lebah,
‘Buatlah sarang-sarang di bukit-bukit, di pohon-pohon kayu dan di
tempat-tempat yang dibikin manusia’.” (An-Nahl: 68). Jika ilham ini
dianggap lebih tinggi daripada kedudukan firasat, maka justru bisa
melemahkan anggapan itu sendiri. Sebab seperti yang sudah dikatakan di
atas, firasat itu jarang-jarang terjadinya. Sementara sesuatu yang
jarang-jarang terjadi tidak mempunyai hukum. Jelasnya tentang masalah
ini, masing-masing dari firasat dan ilham dibagi menjadi umum dan
khusus. Yang khusus pada masing-masing lebih tinggi dari yang umum pada
selainnya. Tapi perbedaan yang jelas di antara kedua-nya, firasat lebih
berkaitan dengan satu jenis tindakan atau perbuatan, sedangkan ilham
murni pemberian, yang tidak bisa diperoleh dengan tindakan atau usaha
tertentu.
Tingkatan Kesepuluh:
Mimpi
yang benar, yang merupakan satu bagian dari nubuwah, seperti yang
dikabarkan Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, beliau bersabda, “Mimpi
yang benar itu merupakan satu bagian dari empat puluh enam bagian dari
nubuwah.” Tapi dalam riwayat lain yang shahih disebutkan merupakan satu
bagian dari tujuh puluh bagian dari nubuwah. Yang pasti, mimpi merupakan
permulaan wahyu. Kebenarannya tergantung kepada orang yang bermimpi,
dan mimpi yang paling benar ialah mimpinya orang yang perkataannya
paling benar dan jujur. Jika kiamat sudah dekat, maka hampir tidak ada
mimpi yang meleset, karena jaraknya yang jauh dari masa nubuwah.
Sementara pada masa nubuwah tidak membutuhkan mimpi-mimpi yang benar
ini, karena sudah ada kekuatan cahaya nubuwah. Kebalikan dari mimpi yang
benar ini adalah karamah yang muncul setelah masa shahabat, namun tidak
muncul pada masa dekatnya hari kiamat. Hal ini disebabkan kuat dan
lemahnya iman. Begitulah yang ditegaskan Al-Imam Ahmad. Ubadah bin
Ash-Shamit berkata, “Mimpi orang Mukmin merupakan perkataan yang
disampaikan Allah kepada hamba-Nya ketika dia tidur.” Mimpi itu layaknya
suatu pengungkapan, di antaranya ada yang berasal dari Allah, ada yang
berasal dari kejiwaan dan ada yang berasal dari syetan, sebagaimana
sabda Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, “Mimpi itu ada tiga
macam: Mimpi dari Allah, mimpi sedih dari syetan dan mimpi yang terbawa
bisikan seseorang ke dalam hatinya saat terjaga, lalu dia memimpikannya
saat tidur.” Mimpi yang menjadi sebab hidayah adalah mimpi yang secara
khusus datangnya dari Allah. Sementara mimpi para nabi sama dengan
wahyu, karena mimpi mereka terlindung dari syetan.
Begitulah
kesepakatan umat. Karena itu Al-Khalil Ibrahim hendak menyembelih
putranya, sekalipun itu bermula dari perintah dalam mimpi yang beliau
alami. Sedangkan mimpi selain para nabi, bisa dilaksanakan seperti
halnya wahyu yang jelas, jika memang tepat. Jika tidak, maka tidak perlu
diamalkan. Lalu apa komentar kalian tentang mimpi yang benar? Jika
mimpi itu mimpi yang benar, maka ia tidak akan bertentangan dengan
wahyu. Siapa yang ingin agar mimpinya benar, maka hendaklah dia
terus-menerus menjaga kejujurannya, memakan yang halal, menjaga perintah
dan larangan, tidur dalam keadaan suci, menghadap ke arah kiblat,
menyebut asma Allah hingga matanya terlelap. Jika dia berbuat seperti
ini, hampir pasti mimpinya bukan mimpi yang dusta. Mimpi yang paling
benar adalah mimpi pada waktu sahur, karena itulah waktu turunnya wahyu,
rahmat, ampunan dan saat syetan menyingkir jauh. Sebaliknya, mimpi pada
permulaan malam adalah mimpi yang banyak ditebari syetan dan ruh-ruh
syetan.